Jumat, 02 Januari 2015

Proposal Kuantitatif

PROPOSAL PERBEDAAN TINGKAT EMPATI ANTAR ANGKATAN PADA MAHASISWA JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING S1 UNNES Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester 3 Mata Kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Dosen Pengampu : Dra. Maria Theresia Sri Hartati, M.Pd Oleh Rosmayati 1301413061 / Rombel 3 JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Istilah “empati” menurut Jumarin (panuntun, 2012) berasal dari perkataan Yunani yaitu “phatos” yang artinya perasaan mendalam atau kuat. Selain itu, istilah “empati juga berasal dari “einfuhlung” yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, yang diartikan secara harfiah yaitu memasuki perasaan orang lain (feeling into). Hurlock (1999: 118) mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya, maka semakin terampil juga seseorang membaca perasaan orang lain. Jadi, empati membutuhkan pembedaan antara emosi dan keinginan pribadi dengan emosi dan keinginan orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam menginterprestsikan informasi yang diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka. Adapun empati tersebut adalah faktor terpenting dalam pekerjaan sosial dan konseling. Tujuan empati sendiri sangat membantu konselor dalam mendapatkan informasi dan menghargai klien. Jadi, dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu kemampuan sikap seseorang baik dari kesadaran diri dalam memahami orang lain ataupun suatu kelompok, baik yang berbentuk respon kognitif maupun afektif dengan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam makalahnya yang berjudul “ The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change ”(Kondisi Yang Harus Terjadi Dan Cukup Bagi Perubahan Pada Klien), Rogers mengemukakan tentang emphatic understanding, yakni kemampuan untuk memasuki dunia pribadi orang. Emphatic understanding merupakan salah satu dari tiga atribut yang harus dimiliki oleh seorang terapis dalam usaha mengubah perilaku klien. Atribut yang lain yaitu kewajaran atau keadaan sebenarnya (realness) dan menerima (acceptance) atau memperhatikan (care). Sebagai mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling yeng belajar tentang konseling dan belajar faktor terpenting dalam konseling yaitu empati. Setidaknya semakin kita belajar maka akan semakin kita tahu dan mengerti apa yang kita pelajari. Begitupula dengan belajar empati, semakin kita belajar berkonseling yang pastinya belajar empati juga semakin tinggi juga rasa empati kita terhadap klien atau seseorang. Dari sini peneliti akan memaparkan penelitiannya tentang “Perbedaan Tingkat Empati antar Angkatan Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling S1 Unnes”.   2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan ”adakah perbedaan empati antar angkatan pada mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling S1 Unnes?” 3. Tujuan Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini yaitu mengetahui ada atau tidaknya perbedaan empati antar mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling S1 Unnes. 4. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberi jawaban mengenai adanya perbedaan tingkat empati antar angkatan mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling S1 Unnes, sehingga mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis sebagai sarana untuk mengaplikasikan teori-teori mengenai empati. 2. Manfaat Praktis sebagai tambahan informasi mahasiswa untuk mengetahui perbedaan tingkat empati mahasiswa.   BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Empati Istilah “empati” menurut Jumarin (Panuntun, 2012), berasal dari perkataan yunani yaitu “phatos” yang artinya perasaan mendalam atau kuat. Selain itu, istilah “empati” juga berasal dari kata “einfuhlung” yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, yang secara harfiah yaitu memasuki perasaan orang lain (feeling into). Hurlock (1999: 118) mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Kemampuan untuk empati ini mulai dapat dimiliki seseorang ketika menduduki masa akhir kanak-kanak awal (6 tahun) dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua individu memiliki dasar kemampuan untuk dapat berempati, hanya saja berbeda tingkat kedalaman dan cara mengaktualisasikannya. Empati seharusnya sudah dimiliki oleh remaja, karena kemampuan berempati sudah mulai muncul pada masa kanak-kanak awal. Lebih lanjut dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2005) yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik, dan mencoba menyelesaikan masalah serta mengambil perspektif orang lain. Menurut Goleman (Wahyuningsih, 2004) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya, maka semakin terampil juga seseorang membaca perasaan orang lain. Jadi, empati membutuhkan pembedaan antara emosi dan keinginan pribadi dengan emosi dan keinginan orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam menginterprestsikan informasi yang diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka. Jadi, dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu kemampuan sikap seseorang dari kesadaran diri dalam memahami orang lain ataupun suatu kelompok, baik yang berbentuk respon kognitif maupun afektif dengan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. B. Perkembangan Empati Hoffman (Taufik, 2012) empati memiliki basis genetic atau empati diturunkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Namun Hoffman tidak mempercayai bahwa empati muncul pada masa anak-anak atau setelah anak melampaui beberapa tugas perkembangannya, tahapan perkembangan itu memang ada namun tidak menjadi syarat mutlak bagi seseorang untuk bersikap empati. Menurutnya, empati individu sudah mulai terbentuk saat ia masih bayi, yaitu tangisan saat dilahirkan. Hoffman memberikan contoh saat bayi perempuan berusia 11 bulan melihat bayi lainnya jatuh dan mulai menangis, kemudian bayi perempuan tersebut seakan-akan ikut menangis. Fenomena ini menurut Hoffman merupakan salah satu indikator empati dan merupakan bentuk dari self cetered emotional responses karena tidak bisa menimbulkan keinginan pada diri anak untuk menolong dan memaahami kesedihan orang lain dengan hanya bisa diekspresikan untuk dirinya sendiri (empati pasif). Dewasa ini, empati sering dijadikan faktor penting dalam pekerjaan sosial dan konseling. Penelitian di bidang ini menunjukkan bahwa empati adalah alat penting untuk intervensi terapeutik yang positif dan perlakuan dalam pekerjaan sosial. Studi menunjukkan bahwa klien yang mengalami empati melalui pengobatan menghambat perilaku anti-sosial dan agresi. Dalam hal ini, kurangnya empati berkorelasi dengan bullying, perilaku agresif, kejahatan kekerasan dan menyinggung pada penyimpangan seksual (Questia 2009). Menurut Ioannidou dan Konstantikaki (2008) empati juga tepat digunakan sebagai alat komunikasi dan memfasilitasi wawancara klinis konseling, meningkatkan efisiensi pengumpulan informasi, dan dalam menghormati klien. Emotional Intelligence (EQ), sering digunakan untuk menggambarkan sebuah konsep yang melibatkan kapasitas, keterampilan dalam mengelola emosi baik dalam diri maupun orang lain, serta kemampuan dalam ikut merasakan perasaan orang lain, sehingga disini berkaitan erat dengan sikap empati. Walaupun isu ini masih menjadi perdebatan dan dapat terus berubah. Mercer dan Reynolds (2002) mengemukakan pentingnya empati dalam hubungan terapeutik berkaitan dengan tujuan dari hubungan tersebut. Terlepas dari konteks hubungan terapeutik, tampaknya ada sebuah tujuan dari empati, meliputik: a. mendukung komunikasi interpersonal dalam rangka memahami persepsi dan kebutuhan konseli. b. memberdayakan konseli untuk belajar, atau mengatasi masalahnya lebih efektifdengan lingkungannya. c. penyelesaian masalah konseli. Mercer dan Reynolds (2002) mengemukakan empati dapat menciptakan iklim antarpribadi yang bebas dari defensif dan memungkinkan individu untuk berbicara tentang persepsi mereka terhadap kebutuhannya. C. Karakteristik Empati Goleman (1997) menyatakan terdapat 3 (tiga) karakteristik kemampuan seseorang dalam berempati, yaitu: 1. Mampu Menerima Sudut Pandang Orang Lain Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat. 2. Memiliki Kepekaan Terhadap Perasaan Orang Lain Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain. 3. Mampu Mendengarkan Orang Lain Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi. Adapun menurut Departemen Agama Republik Indonesia (Irani, 2007) karakteristik seseorang yangberempati tinggi, yaitu: 1. Ikut merasakan (sharing feeling) kemampuan untuk mengetahuibagaimana perasaan orang lain. Hal ini berarti individu mampu merasakansuatu emosi, mampu mengidentifikasi perasaan orang lain. 2. Dibangun berdasarkan kesadaran sendiri, semakin kita mengetahui emosidiri sendiri semakin terampil kita meraba perasaan orang lain. Hal ini berartimampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang laindengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan meningkatkankemampuan kognitif, khususnya kemampuan menehrima perspektif oranglain dan mengambil alih peran, seseorang akan memperoleh pemahamanterhadap perasaan orang lain dan emosi orang lain yang lebih lengkap danaktual, sehingga mereka lebih menaruh belas kasihan yang akan lebih banyak membantu orang lain dengan cara yang tepat. 3. Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih sering diungkapkanmelalui bahasa isyarat. Hal ini berarti individu mampu membaca perasaanorang lain dalam bahasa non verbal seperti ekspresi wajah, gerak-gerakdan bahasa tubuh lainnya. 4. Mengambil peran (role taking) empati melahirkan perilaku konkrit, jika individu menyadari apa yang dirasakan setiap saat, maka empati akandatang dengan sendirinya dan lebih lanjut individu akan bereaksi terhadapsyarat-syarat orang lain dengan sensasi fisiknya sendiri tidak hanyadengan pengakuan kognitif terhadap perasaan mereka. D. Esensi dari Empati Pada dasarnya setiap anak sudah memiliki kepekaan (empati) dalam dirinya, tergantung bagaimana cara anak dan juga orangtuanya mengasah kemampuan anak tersebut. Oleh karena itu, orangtua ataupun guru sangat disarankan untuk menanamkan sifat empati kepada anak sejak dini. Eisenberg (2002) menyatakan bahwa tiadanya attunement (penyesuaian diri) dalam jangka panjang antara orangtua dengan anak akan menimbulkan kerugian emosional yang sangat besar bagi anak tersebut. Apabila orangtua terus menerus gagal memperlihatkan empati apa pun dalam bentuk emosi tertentu (kebahagiaan, kesedihan, kebutuhan membelai) pada anak, maka anak akan mulai menghindar untuk mengungkapkannya. Eisenberg (2002) juga menyatakan empati penting bagi individu, karena dengan empati seseorang dapat: 1. Menyesuaikan Diri Empati mempermudah proses adaptasi, karena ada kesadaran dalam diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Orang yang memiliki rasa empati yang baik, maka penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam sifat optimis dan fleksibel. 2. Mempercepat Hubungan dengan Orang Lain Jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka setiap individu akan mudah untuk merasa diterima dan dipahami oleh orang lain. 3. Meningkatkan Harga Diri Empati dapat meningkatkan harga diri seseorang.Dimulai dari peran empati dalam hubungan sosial, yang merupakan media berkreasai dan menyatakan identitas diri. 4. Meningkatkan Pemahaman Diri Kemampuan memahami perasan orang lain dan menunjukkan perasaan tersebut tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan orang lain, menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan perilakunya. Hal itu menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Melalui proses tersebut akan terbentuk pemahaman diri yang terjadi dengan perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. E. Faktor yang Mempengaruhi Empati Eisenberg (2002) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang, yaitu: 1. Kebutuhan Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang rendah akan mempunyai tingkat empati yang tinggi. 2. Jenis Kelamin Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi daripada laki-laki.Persepsi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki. Untuk respon empati, mendapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empati dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain. Empati adalah merupakan ciri khas dari wanita yang lebih peka terhadap emosi orang lain dan bisa lebih mengungkapkan emosinya dibandingkan laki-laki (Koestner, 1990). Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya usia. Selanjutnya Koestner (1990) menyatakan bahwa semakin tua usia seseorang semakin baik kemampuan empatinya. Hal ini dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif. 3. Derajat Kematangan Psikis Empati juga dipengaruhi oleh derajat kematangan. Yang dimaksud dengan derajat kematangan dalam hal ini adalah besarnya kemampuan seseorang dalam memandang, menempatkan diri pada perasaan orang lain serta melihat kenyataan dengan empati secara proporsional. Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula. 4. Sosialisasi Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan sosial yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial. Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami empati artinya mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain. Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap empati pada anak, kepekaan sosial juga berpengaruh pada perkembangan empati anak terhadap lingkungan. Selain itu, ada pula faktor lain yang mempengaruhi empati, yaitu: 1. Pola Asuh Menurut Hoffman dalam Taufik (2012), empati memiliki basis genetic atau empati diturunkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Gordon (2003) mengatakan bahwa orang tua yang memiliki sifat agresi, kasar, dan lalai dalam mengasuh anak merupakan bukti dari rendahnya tingkat empati. Oleh karena itu, Franz (Ginting, 2009), menemukan adanya hubungan yang kuat antara pola asuh pada masa-masa awal dengan emphatic concern anak yang mempunyai ayah yang terlibat baik dalam pengasuhan dan ibu yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak (tolerance of dependency) akan mempunyai empati yang lebih tinggi. 2. Variasi Situasi, Pengalaman, dan Objek Respon Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat dipengaruhi oleh situasi, pengalaman, dan respon empati yang diberikan (Ginting, 2009) F. Aspek-aspek Kemampuan Empati Menurut Eisenberg (2002) dalam Panuntun (2012) bahwa dalam proses individu berempati melibatkan aspek afektif dan kognitif. Aspek afekif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita bahkan disakiti,sedangkan aspek kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan tepat dan menerima pandangan mereka, misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari; cara berbicara, dari raut wajah, cara pandang dalam berpendapat. G. Kerangka Berpikir Pembahasan diatas tentang empati yang dalam artian menurut Baron dan Byrne (2005) yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik, dan mencoba menyelesaikan masalah serta mengambil perspektif orang lain. Dan masih banyak menurut beberapa ahli lainnya. Namun, dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu kemampuan sikap seseorang dari kesadaran diri dalam memahami orang lain ataupun suatu kelompok, baik yang berbentuk respon kognitif maupun afektif dengan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Adapun empati tersebut adalah faktor terpenting dalam pekerjaan sosial dan konseling. Tujuan empati sendiri sangat membantu konselor dalam mendapatkan informasi dan menghargai klien. Sebagai mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling yeng belajar tentang konseling dan belajar faktor terpenting dalam konseling yaitu empati. Setidaknya semakin kita belajar maka akan semakin kita tahu dan mengerti apa yang kita pelajari. Begitupula dengan belajar empati, semakin kita belajar berkonseling yang pastinya belajar empati juga semakin tinggi juga rasa empati kita terhadap klien atau seseorang. Jadi dapat dikatakan jika mahasiswa yang sudah semester atas (diatas kita) memiliki rasa empati yang lebih tinggi daripada kita (dibawah mereka). H. Hipotesis Begitu pentingnya empati ditanamkan pada diri setiap individu, khusus juga pada diri seorang konselor. Menurut Ioannidou dan Konstantikaki (2008) empati juga tepat digunakan sebagai alat komunikasi dan memfasilitasi wawancara klinis konseling, meningkatkan efisiensi pengumpulan informasi, dan dalam menghormati klien.tidak dapat di pungkiri individu merupakan makhluk yang unik, dalam artian individu pun unik dalam memiliki rasa empati, apalagi besarnya rasa empati dalam setiap individu terutama mahasiswa Bimbingan dan Konseling S1 Unnes. Jadi, dapat di katakana terdapat perbedaan tingkat empati antar mahasiswa Bimbingan dan Konseling S1 Unnes. I. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian One-group Pretest-Posttest Design adalah rancangan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Eksperimen dilakukan pada satu kelompok tanpa menggunakan kelompok kontrol dengan memberikan pretes sebelum perlakuan bertujuan agar hasil perlakuan dapat diketahui secara akurat setelah diberikan postes dengan cara membandingkan keadaan sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Penelitian ini menggunakan angket langsung bentuk tertutup, responden menjawab sendiri butir pertanyaan yang sudah tersedia jawabannya. Data dikumpulkan melalui angket yang telah dikembangkan sendiri. Proses pengumpulan data, memerlukan alat atau instrumen pengumpul data yang benar-benar dapat mengumpulkan data dengan baik. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah b. Variabel Penelitian 1. Identifikasi Variabel Peneliti menggunakan variabel intervening. Variable intervening adalah variable yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variable independen dengan dependen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur. Variable ini merupakan variable penyela yang terletak diantara variable independen dan dependen, sehingga variable independen tidak langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variable dependen (Sugiyono, 2014:63) 2. Definisi Variabel Dalam penelitian ini, yang menjadi kriteria penilaian atau pengukuran secara statistik (batasan dalam membuat indicator) adalah ‘Karakteristik Empati’. disini peneliti menggunakan karakteristik empati menurut 2 ahli yang nantinya dalam membuat indicator keduanya akan digabungkan, kaakteristik empati menurut 2 ahli tersebut, antara lain : a. Goleman (1997) menyatakan terdapat 3 (tiga) karakteristik kemampuan seseorang dalam berempati, yaitu: 1. Mampu Menerima Sudut Pandang Orang Lain Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat. 2. Memiliki Kepekaan Terhadap Perasaan Orang Lain Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain. 3. Mampu Mendengarkan Orang Lain Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi. b. Adapun menurut Departemen Agama Republik Indonesia (Irani, 2007) karakteristik seseorang yangberempati tinggi, yaitu: 1. Ikut merasakan (sharing feeling) kemampuan untuk mengetahuibagaimana perasaan orang lain. Hal ini berarti individu mampu merasakansuatu emosi, mampu mengidentifikasi perasaan orang lain. 2. Dibangun berdasarkan kesadaran sendiri, semakin kita mengetahui emosidiri sendiri semakin terampil kita meraba perasaan orang lain. Hal ini berartimampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang laindengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan meningkatkankemampuan kognitif, khususnya kemampuan menehrima perspektif oranglain dan mengambil alih peran, seseorang akan memperoleh pemahamanterhadap perasaan orang lain dan emosi orang lain yang lebih lengkap danaktual, sehingga mereka lebih menaruh belas kasihan yang akan lebih banyak membantu orang lain dengan cara yang tepat. 3. Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih sering diungkapkanmelalui bahasa isyarat. Hal ini berarti individu mampu membaca perasaanorang lain dalam bahasa non verbal seperti ekspresi wajah, gerak-gerakdan bahasa tubuh lainnya. 4. Mengambil peran (role taking) empati melahirkan perilaku konkrit, jika individu menyadari apa yang dirasakan setiap saat, maka empati akandatang dengan sendirinya dan lebih lanjut individu akan bereaksi terhadapsyarat-syarat orang lain dengan sensasi fisiknya sendiri tidak hanyadengan pengakuan kognitif terhadap perasaan mereka. c. Populasi dan Sampel Penelitian Dalam Sugiyono (2013:117), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi, populasi bukan hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek atau subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek yang diteliti itu. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan mahasiswa yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian. Adapun populasi penelitian ini adalah mahasiswa Bimbingan dan Konseling antar angakatan S1 Unnes. Dalam Sugiyono (2013:118), sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel adalah kelompok kecil yang secara nyata diteliti dan ditarik kesimpulan (Nana Syaodih Sukmadinata, 2009). Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sampel yang dimaksud dalam penenlitian ini adalah sebagian dari jumlah keseluruhan mahasiswa tiap angkatan yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian. d. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Teknik Angket atau Kuesioner Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Penelitian ini menggunakan angket langsung bentuk tertutup, responden menjawab sendiri butir pertanyaan yang sudah tersedia jawabannya. Dalam proposal ini, peneliti menggunakan metode angket (kuesioner) untuk mengetahui bagaimana tingkat empati mahasiswa dengan klien atau individu sebelum dan sesudah diberikan layanan penguasaan konten tentang empati. 1. Validitas dan Reliabilitas Data Validitas data adalah mengukur apa yang seharusnya diukur, dalam penelitian ini yang diukur adalah seberapa tinggi sikap empati mahasiswa Bimbingan dan Konseling. Sedangkan realibilitas data adalah taraf keajegan dari hasil penelitian dimana dari hasil penelitian ini dapat dipakai jika kondisi dari sampel dapat mewakili seluruh populasi. 2. Teknik Analisis Data Dalam pemilihan tehnik analisis data, yang perlu dicermati oleh Dosen Pembimbing adalah asumsi-asumsi dari pemilihan tehnik tersebut, karena setiap tehnik analisis data mempunyai asumsi yang berbeda-beda. Hal-hal yang mempengaruhi jenis tehnik analisis data di antaranya adalah sebagai berikut : Jenis data, hubungan variabel, jumlah variabelnya, jumlah subyek penelitian (N/n), hubugan sampelnya, skala pengukuran, dan lain-lain.   DAFTAR PUSTAKA Baron, R. A. dan Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial. Jilid 2. Alih Bahasa: Ratna Djuwita. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga. Batson, C. D, dkk 1991. Empathy Joy and the Empathy Altruism Hypotesis. Jurnal of Personality and Social Psychology University of Kansas. Vol 61, No 3. Hoffman, M. L. 1978. Empathy: The Formative Years, Implications for Children Practice. Journal New Direction in Psychotherapy. Hurlock, Elizabeth. 1999. Perkembangan Anak. Jilid 2. Alih Bahasa: Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Setiawan, A. 2012. Empati. [online]:http//andiystiawan.blogspot.com/2012/11/empati.html diakses pada [13/10/2014] Sugiyono. 2014. Metode penelitian Pendidikan. Bandung: Alvabeta Sutardi, T. 2007. Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT. Setia Purna Inves. Sutoyo, Anwar. 2012. Pemahaman Individu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Taufik. 2012. Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada

0 komentar:

Posting Komentar

jadilah komentator yang membangun :) terimakasih