KONSELOR

selama masih ada kehidupan maka konselor akan terus hidup dan di butuhkan.

ROSE

Rosmayati.

inspirasi

memang hanya sebuah gambar, namun hal kecil ini salah satu motivasi saya :).

Universitas Negeri Semarang

Unnes adalah surga ilmu, disini saya mencari Ridlo agar menjadi orang yang lebih baik.

Power Rangers

leader pemberani, berani menerima resiko dan berani untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik.

Minggu, 25 Oktober 2015

Ketrampilan Dasar Konseling

NO KETRAMPILAN DASAR KONSELING DEFINISI TUJUAN MODALITA CONTOH APLIKASI 1. Attending Attending merupakan komunikasi nonverbal yang menunjukkan bahwa konselor memberikan perhatian secara utuh terhadap lawan bicara yang sedang berbicara (klien). Keterampilan attending yaitu keterampilan tampil sebagai pribadi yang utuh dan memberikan perhatian penuh kepada klien sebagaimana adanya, agar klien dapat mengembangkan diri, mengeksplorasi dirinya dengan bebas. Semua hal yang ada apada diri konselor akan hadir V=visual (kontak mata), Voice (suara, kecepatan, intonasi, artikulasi), Verbal tracking (pemampuan mengikuti pembicaraan klien secara runtut, tanpa mengulang-ulang), body langue, duduk sejajar (posisi serong). Open gesture (sikap terbuka) = kaki dan tangan jangan menyilang, kecondongan tubuh. Kontak mata, luwes, tidak tegang, tidak kaku. Dilakukan sepangjang proses konseling. a. Meningkatkan harga diri klien, sebab sikap dan perilaku attending memungkinkan konselor meghargai konseli. b. Dengan perilaku attending menciptakan suasana aman bagi klien, karena klien merasa ada oarang yang bisa dipercayai, teman untuk berbicara, dan merasa terlindungi secara emosional. c. Perilaku attending memberikan keyakinan kepada klien bahwa konselor adalah tempat dia mudah untuk mencurahkan segala isi hati dan perasaannya. Sofyan Willis (2004: 176) Berjabat tangan, senyum, mempersilahkan duduk. Dian (ki) : assalamu’alaikum bu.. Rosma (ko) : wa’alaikumussalam wr.wb (berjabat tangan dan mempersilahkan duduk) Dian : maaf bu saya jika saya mengganggu waktu ibu. Rosma : aah… tidak apa-apa, bagaimana kabarnya mba dian ? (sambil tersenyum dan memulai percakapn ). 2. Opening Opening adalah teknik dasar untuk mengawali hubungan atau melakuakn wawancara koseling. Supriyo dan Mulawarman (2006:21) menjelaskan bahwa opening (pembukaan) adalah keterampilan untuk membuka atau memulai, atau mengkomunikasi hubungan konseling. . Membina hubungan baik antara klien dan konselor b. Memperoleh kepercayaan dari klien. c. Memberikan penghargaan kepada klien. d. Klien dapat bebas dan nyaman serta terbuka dalam mengungkapkan masalah. Memberi kesan pertama yang membuat nyaman. Dian (ki) : assalamu’alaikum bu.. Rosma (ko) : wa’alaikumussalam wr.wb (berjabat tangan dan mempersilahkan duduk) Dian : maaf bu saya jika saya mengganggu waktu ibu. Rosma : aah… tidak apa-apa, bagaimana kabarnya mba dian ? (sambil tersenyum dan memulai percakapn ). 3. Acceptance Supriyo dan Mulawarman (2006:23) mengungkapkan bahwa acceptance (penerimaan) dalah teknik yang digunakan konselor untuk menunjukkan minat dan pemahaman terhadap hal - hal yang dikemukakan klien. Acceptance (penerimaan) yaitu menerima apa adanya, menerima pribadi klien sebagai suatu keseluruhan.Sebaliknya membenarkan (menyetujui) atau tidak menyetujui segi-segi kepribadian atau kelakuan seorang klien, bukan merupakan bentuk penerimaan. a. Menunjukkan kedekatan daripada sikap dan menunjukkan tingkat keterbukaan dan ketulusan hati konselor. b. Klien merasa dihargai dan diterima keberadaannya. Verbal : oh… yaa, saya memahami, saya dapat merasakannya Nonverbal : anggukan kepala, merubah mimic, posisi tubuh condong ke depan. Dll Klien : bu, saya galu, IP saya turun bu Konselor : iya (smbil menganggukan kepala), saya dapat memahami perasaan Anda. Klien : IP saya turun 0,3 bu, menyedihkan Konselor : (menganggukan kepala dan memandang klien), mmm…hmmm… 4. Reflection of Feeling (pemantulan perasaan) Ketrampilan yang digunakan konselor dalam konseling guna memantulkan sikap atu perasaan yang diungkapkan klien secara langsung atau tidak langsung melalui pernyataannya. Menguasai feeling word (membaca emosi/ perasaan orang). Jangan mengulang-ngluang hal yang sama. Membantu klien memahami perasaannya, menata atau mengatur persaannya, dan membedakan intensitas berbagai perasaan yang ada dalam dirinya. Juga mendorong klien agar lebih banyak mengekspresikan perasaannya. Respon refleksi: • Visual Nampaknya Anda…, Sepertinya Anda… • Auditori: Kedengarannya Anda…, Saya mendengar bahwa Anda… • kinestetik: Saya dapat memahami…, Anda sedang… Klien: “ begini bu, akhir-akhir ini teman-teman saya seperti menjauh dari saya. Padahal minggu kemarin kami masih sering mengobrol, bermain dan bercanda bersama. Tetapi saya rasa semenjak mereka memiliki teman baru saya jarang sekali di ajak untuk bermain bersama.” Konselor: “saya dapat memahami perasaan anda, nampaknya anda sedang merindukan mereka”. 5. Restatement (pengulangan) Keterampilan mengulang atau menyatkan kembali pernyataan klien yang penting untuk di ulang oleh konselor dalam konseling tanpa merubah perkataan klien. 1. penulangan kata 2. pengulangan kalimat -Memperjelas pernyataan klien -Menghindari salah persepsi -konselor menangkap apa yang di katakana konseli Pengulangan kata ex: dilemma Tidak ada modalita khusus Klien: “Bu, saya bingung dengan jurusan focus yang akan saya ambil nanti bu, saya ingin focus BK SD tapi saya juga penasaran dengan BK Sosial, saya dilemma Bu “ Konselor : “dilema” 6. Paraprashing (parafrase) Keterampilan konselor untuk menggunakan kata-kata dalam menyatakan kembali esensi dari ucapan-ucapan klien. Memberi arahan jalannya wawancara konseling dan menyatakan kembali ungkapan klien. Menyamakan persepsi. 1. Nampaknya yang Anda kaatkan …, 2. Jjika Anda berpikiran bahwa Anda…, 3. Menurut Anda…, Anda mengatakan bahwa Anda..... Klien: “bu saya sedih, saya akhir-akhir ini merasa sendirian, padahal di sisi lain saya selalu berkumpul dengan teman teman. Saat berkumpul saya selalu memikirkan masalah dengan pacar dan orang tua saya Bu, karena saya tidak di restui menjalin hubungan dengan pacar saya” Konselor: “Anda mengatakan, bahwa Anda selalu merasa sendiarian, karena Anda sealu memikirkan masalh yang sedang Anda hadapi” 7. Clarification Ketrampilan dalam konseling yang dilakukan konselor dalam mengungkapkan kembali pernyataan klien dengan kata-kata baru dan segar. Dengan bahasa konselor. 1. Mendorong klien untuk melakukan elaborasi 2. Memeriksa ketepatan apa yang didengar konselor terhadap pesan-pesan klien 3. Memperjelas pesan-pesan yang samar atau membingungkan. • Pada dasarnya • Pada intinya… • Pada prinsipnya… Dengan kata lain…. Klien: “ pak, saya sering mengantuk dalam kelas. Saya tidak pernah bisa tidur saat malam datang, karena saya selalu memikirkan tugas dan tugas pak.” Konselor: “ Pada intinya anda susah tidur karena anda selalu memikirkan tugas anda? “ 8. Interpretasi (penafsiran) Ada 3 jenisnya :  Interprtasi ganda  Interpretasi tunggal Interpretasi Informasi Keterampilan konselor dimana berarti atau karena tingkah laku klien ditafsirkan atau diduga dan dimengerti dengan dikomunikasikan pada klien. Dari 3 jenis :  Interpretasi ganda : dilihat dari non verbal dan perkataan  Interpretasi tunggal : dilihat dari non verbal saja Interpretasi informasi : dilihat dari pernyataannya. Membantu klien agar lebih memahami diri sendiri bilamana klien bersedia mempertimbangkannya dengan pikiran terbuka. 1. Interpretasi ganda : • Dilihat dari perilaku dan perkataan anda, sepertinya ….. 2. Interpretasi tunggal : • Sepertinya anda… 3. Interpretasi informasi : • Dari pernyataan anda tadi anda menyebutkan … Apakah anda bermaksud.. memperhatikan saya di kelas dan itu membuat saya malu bu saat berhadapan dengan dia” Konselor : “Dilihat dari perilaku dan perkataan anda, sepertinya anda menyimpan perasaan dengan dia?” Interpretasi tunggal : Klien : ( menangis dan menunduk) Konselor : “ sepertinya anda sedang sedih? “ Interpretasi Informasi : Klien : “ bu saya tidak tahu apa maunya orang tua saya, saya sudah menuruti apa yang mereka inginkan, tetapi kali ini saya ingin mereka membiarkan saya memilih jurusan yang saya inginkan sejak dari dulu. Namun itu mustahil bu “ Konselor : “ Anda mengatakan bahwa anda telah patuh dengan keinginan orang tua anda, lalu anda juga menceritakan bahwa kali ini anda ingin memilih jurusan yang anda inginkan. Apakah anda bermaksud ingin orang tua anda mengerti anda dalam hal ini? “ 9. Leading (pengarahan) Secara tidak langsung ini termasuk cara kita dalam topik netral. Prtanyaan yang kurang tepat : bertanya lebih dari satu dalam 1 waktu. Pengajuan yang sulit di jawab “mengapa?” harus dihindari. Keterampila yang dilakukan konselor dalam konseling untuk mengarahkan pembicaraan klien dari satu hal ke hal yang lain secara langsung dan dengan menggunakan kalimat tanya. 1. Untuk mendorong klien dalam merespon pembicaraan terutama pada awal-awal pertemuan 2. Mengeksplorasi isi pembicaraan klien dengan faktor-faktor lain yang signifikan. Memperoleh focus data (spesifikasi) Lead khusus (cq) hindari lead khusus secara berurutan: (dilakukan untuk memperoleh data yang lebih detail) apa…?, apakah…?, siapa…?, dimana…? Lead umum(op) dianjurkan pada awal konseling: bagaimanakah…?, coba jelaskan…?, coba ceritakan…? Lead Khusus : Klien : “ bu, saya sudah berusah untuk mengerti apa yang diinginkan dia selama ini? “ Konselor : “ dia itu siapa nak? “ Lead Umum : Klien: “bu, saya seperti telah berbuat ceroboh pada teman saya bu? “. Konselor: “coba jelaskan ceroboh seperti apa yang anda berbuat pada teman anda?” 10. Silence (diam) Dilakukan saat klien sedng bercerita, saat klien merenung /mencerna sesuatu saat cerita.saat konseling sudah akan selesai. Hadapi hayati nekmati (H2N) Keterampila yang dilakukan konselor dalam konseling untuk menciptakan suasana hening dan tidak ada interaksi verbal antara konselor dengan klien dalam proses konseling. 1. Memberikan kesempatan pada klien untuk istirahat atau mereorganisasi pikiran dan perasaannya atau mereorganisasi kalimat yang akan dikemukakan selanjutnya. 2. Mendorong klien atau memotivasi klien untuk mencapai tujuan konseling. Diam untuk memberikan kesempatan pada klien untuk istirahat sejenak setelah menumpahkan perasaannya Silince dari Konselor : Klien: “bu, saya lama kelamaan muak dengan kelakuan dia, dia terlalu memnfaatkan teman dekat saya, saya melihatnya saja sudah tidak tega” Konselor: “(diam untuk memberikan kesempatan agar klien dapat istirahat sejenak setelah menumpahkan perasaannya)”. Slince dari Konseli : Klien : ”(datang langsung duduk,diam)” Ko’n : (tersenyum untuk membuka pembicaraan) anda mempunyai masalah? Kok datang-datang diam?” Klien : “ tetap diam” 11. Reassurance (penguatan atau dukungan) terdiri atas : • Prediction reassurance • Postidion ressauarance • Factual ressaurance Keterampilan yang dipakai oleh konselor dalam konseling untuk memberikan dukungan/ penguatan terhadap pernyataan positif klien. 1. Agar klien menjadi lebih yakin dan percaya diri terhadap keputusan yang telah diambil, 2. Agar klien dapat lebih tabah dan tegar dalam menghadapi situasi atau hal-hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya. 1. Prediction reassurance(diawali approval reassurance) lalu dilanjutkan dengan kata: jika-maka, apabila-sehingga,tidak mustahil..., bila-sehingga, tidak menutup kemungkinan. 2. Postdiction reassurance: setelah…, atas usaha yang telah Anda lakukan, dengan upaya yang telah Anda lakukan… 3. Factual reassurance: sudah pasti…, sudah barang tentu… Jenis Approval reassurance: bagus sekali, baik sekali, luar biasa, dan lain sebagainya. Prediction reassurance : Klien: “Bu, sya bingung. Saya tidak habis pikir. Ip saya kemarin yudisium sangan turun padahal saya merasa saya sudah berusaha semaksiml mungkin dan tidak menurunkan belajar saya. Tapi hasil ip kemarin tidak sesuai dengan harapan saya bahkan turun sampai 0,4 bu.(menunduk) Konselor: “Bagus sekali jika Anda sudah berusaha untuk belajar sungguh-sungguh secara terus menerus, hasil kemaren jadikan sebagai pelajaran dan motivasi saudara untuk lebih giat lagi tidak mustahil nilai ip saudara berikutnya akan memuaskan”. Postdicition reassurance : Klien : “Bu, saya akhir-akhir ini jauh dari sahabat saya. Saya pikir dia menjauh karena saya kemarin memberi teguran kepada dia tentang tugas yang dia copy dari saya untuk pacaranya. Saya sudah berusaha menyapa dia saat ketemu tetapi dia selalu membuang muka. Saya merasa bersalah kepada dia tapi saya rasa dia juga salah” Konselor : “Bagus..bagus.., anda telah menegur dia kalau dia salah, dan atas usaha yang telah anda lakukan untuk menyapa dia tidak menutup kemungkinan jika anda terus berusaha dia akan kembali seperti sedia kala “ Factual Reassurance : Klien : “ Bu, saya mempunyai sahabat sejak SD yang mana dia pintar, cantik dan pendiam bu. Tapi saya kaget bu kemarin saya di beri tahu bapak saya kalau dia hamil diluar nikah padahal dia sangat pendiam bu.” Konselor : “ Iya, anda yang menjadi sahabatnya sejak kecil sudah pasti kaget ya mendengar berita sahabat anda yang pendiam, pintar , alim hamil diluar nikah.” 12. Konfrontasi Konfrontasi adalah keterampilan/ teknik yang digunakan oleh konselor untuk menunjukkan adanya kesenjangan, diskrepansi atau inkongruensi dalam diri klien dan kemudian konselor mengumpan balikkan kepada klien. 1. Menyadarkan klien akan adanya kesenjangan-kesenjangan, perbedaan-perbedaan dalam pemikiran dan tingkah lakunya 2. Agar calon konselor mempunyai daya kritis terhadap factor diskrepansi atau inkonsistensi dari diri klien 3. Agar calon konselor mampu membuat kalimat-kalimat konfrontasi yang baik 4. untuk membuat orang agar meng-ubah pertahanan yang telah di-bangun & untuk meningkatkan komunikasi terus terang Kata-kata pembuka b. Tadi Anda mengatakan bahwa... sementara.... c. Tadi Anda berkata bahwa..... tetapi.... d. semula Anda berkata bahwa.... belakangan... e. Awalnya Anda mengatakan... terakhir..... Contoh 1: Antara pernyataan dan tingkahlaku non verbal: Ko’r : “Bagaimana perasaanmu dengan dia?” Ko’i :“Em..biasa saja bu (sambil senyam-senyum)” Ko’r :”Anda mengatakan biasa saja, tetapi Anda tersenyum dan terlihat seperti mal mengatakannya” Contoh 2: Tidak konsisten antara apa yang diinginkan dan apa yang dilakukan oleh klien: Ko’i : saya sudah move on bu, saya sudah bertekat untuk tidak perduli dengan apapun yang dia lakukan. Tetapi saya setiap buka fb saya selalu melihat kronologi dia, yang kebanyakan mengobrol dengan laki-laki. Hati saya sakit bu” Ko’r : tadi anda mengatakan bahwa anda sudah move on, tetapi anda masih sering melihat kronologi mantan anda dan anda merasa sakit” Contoh 3 Antara dua pernyataan: Ko’r : “Apa Anda sudah bisa move on lagi?’ Ko’i : “sudah bu, saya sudah mempunyai pacar baru tapi kadang saya mengingatnya bu. Saya tiap mau tidur kadang masih menangisinya bu”.” Contoh 4 Antara dua tingkah laku non verbal: Ko’r : “Apakah Anda merasa sehat setelah kehujuanan permainan sepak bola tadi?” Ko’i : “Iya saya merasa baik-baik saja, bu. (sambil menggigil mendekap tangannya) Ko’r : “Anda mengatakan merasa baik-baik saja, namun sikap Anda menunjukkan bahwa Anda sedang sakit” 13. Rejection (penolakan) Keterampilan konselor untuk melarang klien melakukan perilaku, pemikiran, dan perasaan yang akan membahayakan/merugikan dirinya atau orang lain. 1. Untuk mengarahkan atau membatasi perilaku klien yang berbahaya. 2. Agar klien memikirkan kembali rencana yang telh diputuskan. 3. Mendorong klien menempuh tindakan lain sebagai pengganti tindakan yang merugikan. Mencegah klien melakukan tindakan yang merugikan dirinya. Penolakan secara halus: Coba pikirkan lagi… Penolakan secara langsung: 1. jangan…jangan Anda berbuat seperti itu, saya tidak setuju dengan rencana Anda… Klien: “Bu, saya kan butuh pekerjaan ya. Kemarin teman saya menawari saya jualan bu tapi tidak tau itu jualan apa seperti obat-obatan bu. Dan itu tidak ada label obat resmi. Saya bingung bu, saya ambil apa tidak ya bu pekerjaan tersebut secara saya benar-benar membutuhkan pekerjaan“ Konselor: “Coba pikrikan kembali apa pekerjaan yang belum jelas itu sudah tentu halal? Iya kalau itu bisa termasuk sejenis narkoba, kalau tidak sih bisa anda ambil pekerjaan tersebut tapi kalau itu pekerjaan haram ibu sarankan jangan”. 14. Advice (saran atau nasehat) Ada 3 advice :  Advice langsung  Advice Persuasif Advice Alternatif Keterampilan konselor untuk memberikan nasehat atau saran pada klien. Jenisnya : 1. Advice langsung : saran/nasehat yang diberikan langsung klien berupa fakta jika klien sma sekali tidak punya informasi 2. Advice persuasive : saran/nasehat yang diberikan konselor bilamana klien mengemukakan alasan-alasan logis dan dapat diterima rencana yang akan dilakukan Advice alternative : nasihat/saran yang diberikan konselor setelah klien mengetahui kelebihan dan kelemahan setiap alternative. 1. Agar klien lebih jelas dan lebih pasti mengenai apa yang akan dikerjakan. (advice persuasif). 2. Agar klien mengetahui fakta mengenai informasi yang sama sekali belum klien ketahui (advice langsung) Agar klien mangetahui kelebihan dan kekurangan setiap alternatif pilihan (advice alternatif). 1. Advice Langsung a. “Sebaiknya anda...” b.“Seyogyanya...” c.“Semestinya…” 2.Advice Persuasif a. “Berdasarkan yang anda ceritakan…maka.....” b. “Berdasarkan alasan Anda… maka…” c. “Sesuai pernyataan anda… maka…” 3. Advice Alternative a. “Mari kita bicarakan bersama…” b. “Mari kita diskusikan bersama…” Advice langsung Klien: “ Bu, saya sebenarnya ingin berwirausaha tapi tidak ada modal katanya bisa pinjam di bank ya bu tapi saya tidak tau caranya. Apa ibu bisa memberi tahu caranya supaya bisa mendapat pinjaman di bank untuk modal usaha?” Konselor : “ iya kebetulan ibu juga sering meminjam modal dari bank, gampang saja apabila kan meminjam modal. Tapi sebaiknya anda datang kebank sendiri saja supaya lebih jelas syarat apa saja yang dibutuhkan. Advice persuasive : Klien : “ Bu, saya sebenarnya merasa menajdi anak manja dikeluarga bu. Setiap bulan dikasih uang bulanan terus iya bapak, ya kakakku kadang kalau habis ditengah jalan diberi lagi. Saya merasa tidak bisa mandiri bu, saya ingin mencari uang tambahan sendiri. Konselor : “ Berdasarkan alasan anda bahwa anda merasa menjadi anak manja dan tidak bisa mandiri maka keinginan untuk mencari uang tambahan sendiri itu merupakan ide yang bagus selagi kamu mampu. “ Advice Alternative: Klien : “ Pak, bagaimana ini besok saya mendapatkan panggilan kerja didua tempat dengan waktu yang sama yang satu di Semarang yang satu di Jakarta. Pekerjaan itu kedua-duanya sangat saya minati pak selama ini. Saya bingung harus memilih yang man? “ Konselor : “ Baiklah, mari kita bicarakan bersama keuntungan dan kerugian apabila anda memilih perkajaan di Semarang dan di Jakarta, sehingga nanti kita temukan pilihan yang paling menguntungkan bagi anda”. 15. Summary (ringkasan atau kesimpulan) 1. Suatu ketrampilan yang dimiliki oleh konselor untuk menyimpulkan atau meringkas mengenai apa yang telah dikemukakan klien pada proses komunikasi konseling proses memadukan beberapa ide dan perasaan dalam satu pernyataan pada akhir suatu proses wawancara konseling. 1. Membantu klien dan konselor dalam menggabung bagian-bagian yang telah dibicarakan 2. Mengklarifikasi dan memfokuskan sejumlah ide yang bertebaran 3. Mmembantu klien menyadari kemajuan yang telah dicapainya, membantu mengakhiri proses wawancara konseling. Memberi keyakinan kepada klien bahwa konselor meresapi pesan klien. Summary bagian: untuk sementara ini…, sampai saat ini…, sejauh ini…, selama ini… Summary akhir/keseluruhan: sebagai kesimpulan akhir…, sebagai puncak pembicaraan kita…, sebagai penutup pembicaraan kita…, dari awal hingga akhir pembicaraan kita… Summary bagian: Konselor: “untuk sementara ini kita telah membahas tentang masalah salah persepsi sahabat anda pada anda, jadi selanjutnya mari kita bicarakan jallan keluar agar sahabat anda dapat memahami maksud anda”. Summary akhir: Konselor: “Dari awal hingga akhir pembicaraan kita, anda membahas tentang sahabat anda yang salah mengerti maksud anda, dari itu nanti jika setelah ini saat anda sudah membulatkan teka untuk meluruskan masalah ini sebaiknya anda langsung membicarakannya kepada sahabat anda seperti yang tadi telah kita rancang bersama ”. 16. Termination (pengakhiran) Pedoman : malakukan summery akhir, bembicarakan kesepakatan waktu yang di sepakati di awal, mengucapkan terimakasih, bersalaman dan mengantarkan klien ke pintu. Suatu ketrampilan yang dimiliki oleh konselor untuk mengakhiri komunikasi konseling, baik untuk dilanjutkan pada pertemuan selanjutnya maupun mengakhiri karena komunikasi konseling benar-benar berakhir. Memiliki peta kognitif perjalanan konseling, yaitu apa dan bagaimana tahap-tahap yang telah dilalui dan apa yang merupakan tahap konseling mendatang, mencapai pemahaman antara konselor dan konseli mengenai apa yang telah berhasil dicapai bersama dalam konseling, mengkomunikasikan keperluan penyesuaian konseli terhadap pengambilan tanggungjawabnya seusai proses konseling, memelihara persepsi yang pantas pada konseli tentang penerimaan dan pemahaman konselor. 1. Baik, waktu telah menunjukkan…sesuai dengan kesepakatan… 2. tidak terasa sudah…menit, sesuai dengan apa yang sudah kita sepakati… Non verbal: melihat jam, melihat kondisi klien, menata buku, dan lain-lain. Konselor: “Tdak terasa sudah 45menit, sesuai dengan apa yang sudah kita sepakat tadi bahwa pertemuan ini hanya 45 menit, karena saya juga harus mengikuti rapat guru maka marilah kita akhiri pertemuan ini dan dapat dilanjutkan minggu depan.

Jumat, 02 Januari 2015

Etika dan Moral Lingkungan Hidup

MENGKAJI MASALAH LINGKUNGAN DALAM ETIKA DAN MORAL Makalah disusun guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup Dosen pengampuh : Dr. Nur Kusuma Dewi, M.si oleh Rosmayati (1301413061) Rombel 48 UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada beliau Nabi Muhammad SAW yang penulis tunggu syafa’atnya di zaman yaumul kiamat nanti. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup dengan tema ”MENGKAJJI MASALAH LINGKUNGAN DALAM ETIKA DAN MORAL”. Penulis menyadari tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak maka penulisan laporan ini tidak akan berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Nur kusuma Dewi, M.si, selaku dosen pengampu Mata Kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup yang dengan ikhlas telah membimbing penulis. 2. Orang tua penulis yang selalu melimpahkan doa dan dukungannya. 3. Teman-teman dan semua pihak yang telah mendukung penyelesaian makalah ini. Kritik dan saran selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalaah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Wassalaamu’alaikum Wr. Wb Semarang, September 2014 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan 2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Perduli terhadap Lingkungan Hidup 3 2.2 Masalah Etika dan Moral 5 2.3 Perkembangan Prinsip Moral 10 BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan 11 3.2 Saran 11 DAFTAR PUSTAKA   BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setelah kita mempelajari etika lingkungan hidup dipertemuan lalu, dimana etika lingkungan hidup merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan teruwujudnya moral dan upaya untuk mengendalikan alam agar tetap berada pada batas kelestarian. Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk lain atau dengan alam secara keseluruhan. Itulah sedikit pengertian etika lingkungan hidup yang telah kita pelajari dan kita pahami. Lingkungan hidup sendiri merupakan “konteks” dimana kita hidup dan bertempat tinggal. Tak bisa kita pungkiri, lingkungan hidup kita ini rawan dari masalah-masalah yang terus menerus datang yang disebabkan oleh penghuni yang berakal sendiri yaitu manusia. Lingkungan tersebut terganggu dan mengalami kerusakan, maka kehidupan tempat tinggalpun akan terusik. Dari itu penulis akan mengajak kita merenung dengan membuat makalah yang membahas tentang “MENGKAJI MASALAH LINGKUNGAN DALAM ETIKA DAN MORAL”   1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan makalah ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Mengapa kita perlu perduli terhadap lingkungan hidup? 2. Sejauh mana cakupan masalah lingkungan hidup dalam konteks kehidupan manusia dan interaksinya dengan lingkungan hidup disekitarnya ? 3. Apakah ada kaitan antara sikap etis dan tindakan moral mausia dengan masalah-masalah yang dialami dengan lingkungan hidup? 1.3 Tujuan Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini yaitu : 1. Memahami alasan kita perduli dengan lingkungan hidup 2. Mengetahui cangkupan masalah lingkungan hidup dalam konteks kehidupan manusia dan interaksinya dengan lingkungan hidup sekitar. 3. Mengetahui adanya hubungan antara sikap etis dan tindakan moral manusia dengan masalah-masalah yang dialami dengan lingkungan hidup.  BAB II PEMBAHASAN 2.1 Perduli Terhadap Lingkungan Hidup Etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dalam lingkungan, etika lingkungan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga. (unnes Perss, 2010: 7) etika lingkunga hidup juga dipahami sebagai refleksi kritis atas norma-norma dan prinsip atau nilai moral yang selama ini di kenal dalam komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam komunitas biotis dan komunitas ekologis. Etika lingkungan hidup merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan teruwujudnya moral dan upaya untuk mengendalikan alam agar tetap berada pada batas kelestarian. Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk lain atau dengan alam secara keseluruhan. Masalah kerusakan lingkunga hidup dan akibat-akibat yang timbul bukanlah sutu hal yang asing lagi di teling kita. Denga mudah dan sistematis kita dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan hidup itu dan apa saja akibat yang ditimbulkannya. Misalnya dengan cepat dan sistematis kita dapat mengerti bahwa eksploitasi alam dan penebangan hutan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan bencana banjir,tanah longsor dan kelangkaan air bersih. Membuang limbah industri ke sungai dapat menyebabkankematian ikan dan merusaknya. Penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak trumbu karang dan biota laut dan masih banyak lagi daftar sebab akibat yang bisa terjadi dalam lingkungan hidup kita. Yang menjadi masalah adalah bahwa pengetahuan yang sama atas pengenalan kerusakan lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkan tersebut tidak terjadi dalam pemeliharaan dan perawatan lingkungan hidup. Lemahnya kesadaran kita terhadap lingkungan hidup juga terjadi karena adanya anggapan yang memandang bahwa pemanfaatan alam bagi kehidupan manusia adalah ‘wajar’. Menebang pohon guna kebutuhan manusia adalah hal yang sangat lumrah, misalnya: membuang sampah sembarangan dimanapun adalah suatu halyang juga dianggap ‘wajar’, belum ada aturan yang ketat untuk itu. Dengan kata lain proses kerusakan lingkungan hidup dapat dikembangkan seperti seorang pecandu rokok atau minuman keras. In common sense, seorang pecandu pastilah yahu bahwa rokok atau minuman keras dapat merusak tubuh dan kesehatan mereka. Namun, merka tetap menikmatinya. Mungkin kesadaran mereka akan tumbuh ketika telah mengalami sakit keras. Proses yang sama kiranya terjadi atas sikap kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Kita tahu bahwa menebang pohon seenaknya atau membuang sampah sembarangan adalah suatu hal yang jelas-jelas salah. Tetapi kita tetap melakukannya berulang-ulang. Sebab kita diuntungkan dan tidak menjadi repot, yang mana itu adalah hal yang sudah biasa dan mungkin kita menkmatinya. Kesadaran yang sama mungkin akan kita rasakan nanti saat terjadi bencana besar melanda hidup kita. Jika saja memang terjadi bahwa ada banyak orang memiliki pengetahuan dan klesadaran yang begitu rendah dan lamban seperti yang penulis gambarkan diatas, akan lebih cepat kerusakan lingkungan hidup kita. Hal tersebut tentuya tidak boleh terjadi, sebab kita semua tidak dapat hidup jika tidak ada lingkungan hidup yang menopang dan menjamin kehidupan kita. Dalam kerangka yang lebih luas, kita tentunya tahu bahwa hanya ada satu bumi, tempat dimana kita hidup dan tinggal. Jika kerusakan lingkungan hidup berarti sama dengan kerusakan bumi, maka sama artinya dengan ancaman hidup dan tempat tinggal kita. Denagn kata lain, tugas untuk merawat dan memelihara lingkungan hidup, bumi serta segala isinya adalah tanggung jawab kita semua. Lingkungan hidup, bumi serta segaa isinya adalah milik kita dan itulah alasan mengapa kita harus perduli dengan lingkungan hidup. 2.2 Masalah Etika dan Moral Masalah kerusakan lingkungan hidup mempunyai cakupan yang cukup luas, tidak hanya dibatasi di dalam bentuk kerusakan pada diri sendiri. Namun juga terkait dengan masalah lain. masalah yang dimaksud adalah masalah etika dan moral. Perlu kita ketahui sebelumnya, etika (Berten dalam Unnes Press, 2010 :7) berasal dari kata Yunani etdhos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Ada pun tiga teori pengertian teori, yaitu : Etika Deontologi yang merupakan suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan kesesuaian tindakan tersebut dengan kewajian. Etika Teologi merupakan baik buruknya tindakan berdasarkan tujuan atau akibat suatu tindakan. Dan Etika Keutamaan merupakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Sedangkan oral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan ketetapan entah lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. 2.2.1 Masalah Etika Masalah lingkungan hidup menjadi masalah etika karena manusia seringkali ‘lupa’ dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam secara tidak bertanggungjawab. Dalam keadaan seperti itu, mereka juga tidak lagi menjadi kritis. Oleh karena itulah pendekatan etis dalam menyikapi masalah lingkungan hidup sungguh sangat diperlukan. Pendekatan tersebut pertama-tama dimaksudkan untuk menentukan sikap, tindakan dan perspektif etis serta manajemen perawatan lingkungan hidup dan seluruh angggota ekosistem didalamnya dengan tepat. Maka sudah sewajarnya jika saat ini dikembangkan etika lingkungan hidup dengan opsi ‘ramah’ terhadap lingkungan hidup. Teori etika lingkungan hidup sendiri secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar nasional bagi sebuah system prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarya. Pendekata etika lingkungan hidup dapat dikategorikan menjadi tiga tipe yaitu antroposentrisme (antropos=manusia) merupakan memandang manusia adalah sebagai pusat sistem alam semesta. Disisni manusia yang melakukan etika niali dan prnsip moral. Semua mengarah pada manusia muali dari kepentingkan yang tertinggi, yang brpengaruh dalam tatanan ekosistem segala sesuatu dia alam mempunyai nilai sepanjang masih berfungsi dan berguna bagi kebutuhan manusia. Alam hanya sebagai objek dalam memenuhi kebutuhan manusia tanpa memandang akibatnya. Masalah akan timbul jika antroposentrisme mengakibatkan manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan diluar batas toleransi ekosistem. Jadikrisis lingkungan hidup bukan diakibatkan oleh pendekatan antroposentrisme tetapi oleh antropotisme yang berlebihan. Biosentrisme memandang bahwa semua makhluk hidup dalam ekosistem mempunyai nilai dan berharga, sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Semua kehidupan di alam semesta adalah kesatuan moral. Segala keputusan penggunaannya harus mempertimbangkan aspek moral. Etika dipahami tidak hanya terbatas pada manusia, namun juga bagi seluruh makhluk hidup. Ekosentrisme mencakup cakupan yang lebih luas lagi, manusia, makhluk hidup, dan lingkungannya. Etika diberlakukan tidak hanya kepada makhluk hidup, tapi juga pada lingkungan. Secara ekologis, makhluk hidup dan lingkungannya terikat pada satu kesatuan. Istilah untuk pendekatan ekosentrisme adalah deep ecology yang dipopulerkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia tahun 1973. Pada umumnya paling tidak semenjal jaman modern, orang lebih suka menggunakan pendekatan human-centerd (antroposentris)dalam memperlakukan lingkungan hidup. Melalui pendekatan etika ini terjadilah ketidak seimbangan relasi antara manusia dan lingkungan hidup. Dalam kegiatan praktis, alam kemudian dijadikan objek yang kemudian dieksploitasi sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan manusia. Sangat disayangkan bahwa pendekatan etika tersebut tidak diimbangi denngan usaha-usaha yang memadai untuk mengemballikan fungsi lingkungan hidup dan makhluk-makhluk lain yang ada di dalamnya. Menanggapi realitas kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi, rasanya pendekatan etika human-centered tidak memadai untuk terus dipraktekan. Artinya kita perlu menentukan pendekatan etis lain yang lebih sesuai dan lebih ramah terhadap lingkungan hidup. Jenis pendekatan etika yang kiranya memungkinkan adalah pendekatan etika life centered (biosentris). Pendekatan ini dianggap lebih memdai sebab dalam praksisnya tidak menjadikan lingkungan hidup dan makhluk-makhluk lain yang berada di dalamnya sebagai objek yang begitu saja di eksploitasi. Sebaliknya pendekatan etika ini justru sungguh menghargai mereka sebagai ‘subyek’ yang memiliki nilai pada dirinya. Mereka memiliki nilai tersendiri sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai mereka tidak ditentukan dari sejauh mana mereka memiliki kemanfaatan bagi manusia, tetapi nilai nilai kebaikan sendiri seperti manusia juga memilikinya. Oleh karena itu mereka juga layak dilakukan dengan respect seperti kita meakukan terhadap manusia. 2.2.2 Masalah Moral Dalam kehidupan sehari-hari tindakan moral adalah tindakan yang paling menentukan kualitas baik buruknya seseorang. Agar tindakan moral seseorangmemenuhi criteria moral yang baik, ia perlu mendasarkan tindakannya pada prinsip-prinsip moral secara tepat. Prinsip-prinsip moral yang dimaksud disini adalah prinsip sikap baik, keadilan dan hormat kepada diri sendiri. Dimana prinsip tersebut perlu dikembangkan lebih jauh, artinya prinsip moral seperti itu diandaikan hanyalah berlaku bagi sesama manusia. Padahal dalam kehidupan sehari-hari seorang tidak hanya berjumpa dan berinteraksi dengan sesamanya. Bisa saja terjadi bahwa seseorang lebih sering berinteraksi dan berhubungan dengan makhluk non-human atau lingkungan hidup dimana ia tinggal, bekerja dan hidup. maka rasanya akan lebih baik jika terdapat prinsip-prinsip moral yang menjadi penentu baik buruknya tindakan seseorang dngan lingkungan hidup dan unsur-unsur lain yang terdapat didalamnya. Pada pemahaman teori tentang etika life-centered dapat ditemukan konsep moral yang lebih memadai bagi manusia dalam menentukan sikap, tindakan dan perspektifnya terhadap lingkungan hidup dan makhluk non-human. Namun, bebrapa orang memandang aneh saat kita harus berinteraksi layaknya berinteraksi dengan manusia terhadap makhluk non-human, dan terselip dipikiiran menjadikannya agen moral. Agen moral itu sendiri adalah apasaja yang hidup, yang memiliki kapasitas kebaikan atau kebajikan sehingga dapat bertindak secara moral, memiliki kewajiban dan tanggunng jawab, dan dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Agen moral juga dapat memberikan penilaian yang benar dan salah, dapat diajak dalam proses delibrasi moral, dapat menentukan keputusan berdasarkan semua alasan yang telah disebutkan. Dengan melihat difinisi terssebut, mungkin muncul pendapat bahwa semua itu adalah kapasitas yang hanya dimiliki oleh manusia. Tetapi dalam kenyatannya adajuga pengecualian-pengecualian yang dapat menjadi halangan bagi manusia untuk menjadi agen-agen moral. Contoh, anak-anak yang masih berada dibawah umur dan mereka yang mengalami cacat mental, mereka tidak dapat disebut sebagai agen moral sebab mereka memiliki keterbatan baik yang tidak permanen maupun yang permanen. Oleh karena itu, apabila mereka melakukan tindakan yang melanggar nilai-nilai moral maka tidak dapat dikenakan sanksi. Maka dapat disimpulkan bahwa ada makhluk hidup lain bukan manusia yang memiliki kapasitas sebagai agen moral. Contohnya semut dan lebah pekerja yang bekerja dengan giat dan penuh rasa tanggung jawab untuk mengumpulkan makanan dan madu demi kebaikan bersama komunitas mereka tidak dapat diabaikan sebagai agen moral jika kita diukur dengan menggunakan kepemilikan kapasitas dapat berbuat baik dan bertanggung jawab. Begitu juga halnya dengan tanaman, pohon pisang rela menghasilkan buah bukan demi untuk dirinya sendiri tapi demi kebaikan entah bagi manusia atau makhluk yang lainpun juga tidak dapat dipungkiri keberadaannya sebagai agen moral. Dengan kata lain, pohon pisang juga memiliki kapasitas kebaikan yang layak menjadikan dirinya sebagai agen moral. 2.2.3 Ekspresi Moral Dalam bidang moral di kehidupan manusia, alturalisme dan self-sucrifice secara umum diartikan sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas. Altruism dan self-sucrifice adalah tindakan yang jelas mencerminkan bagaimana suatu aksi tidak hanya dimaksudkan demi kebaikan pribadi. Hal tersebut jelas menjadi representasi dari criteria diri sebagai agen moral. Jika kita menggunakan kacamata yang lebih luas. Ekspresi tertinggi moralitas bisa jadi bukan hanya sekedar monopoli kehidupan manusia. Artinya, dengan menggunakan criteria yang sama yaitu altruism dan self-sucrifice sebagi ekspresi tertinggi dari moralitas, makhluk non-human pun sebenarnya juga dapat melakukannya. Sampai sejauh ini, rasanya tidak ada laasan yang cukup kuat untuk mengucilkan makhluk non-human sebagai makhluk yang tidak pantas disebut sebagai agen moral. Jika memang benar demikian sebenarnya tidak juga ada alas an yang berarti untuk melakukan eksploitasi terhadap mereka. Hanya saja, perlu disadari seringkali yang menjadi masalah bukan karena manusia tidak tahu bagaimana cara menghargai makhluk non-human dan memandangnya sebagai makhluk yang tidak memiliki nilai instrinsik pada dirinya, tetapai karena sebagai manusia terlalu sering menggunakan ukuran kemanusiaannya untuk dikenakan terhadap makhluk hidup diluar dirinya. Standar yang mereka berlakukan kadangkala tidak tepat sehingga merugikan peran da keberadaan makhluk non-human. Jika kita ingin mencari pendekatan yang lebih baik, standarisasi tersebut tentunya perlu juga berorientsi terhadap kelebihan dan kekurangan makhluk non human itu sendiri. Dengan demikian tidak perlulah terjadi pembedaan yang berat sebelah antara manusia dan makhluk non-huamn dalam penentunya sebagai agen moral dalam komunitas kehidupan di bumi. 2.3 Perkembangan Prinsip Moral Pendekata yang paling etika life-centered sepertinya adalah salah satu pendekatan etika yang paling cocok untuk lingkungan hidup jaman ini. Pendekatan tersebut kiranya juga memberikan kondisi yang sangat mendukung untuk makhluk non human, yang kerap kali dibaika n oleh menusia. Dengan pendekatan yang sama terbuka juga kemungkinan untuk membangun prinsip-prinsip dasar moral lingkungan hidup. Perluasan prinsip moral dapat di sebut sebagai kajian bidang moral tersendiri, yaitu moral lingkungan hidup. moral lingkungan hidup seringkali dilukiskan sebagai ‘evolusi alamiah dunia moral’. Yang menerangkan dunia moral lambat laun semakin memperhatikan jagat rasa dan maslaah-masalah ekologis. Sebelumnya dunia moral hanya memperhatikan hubungan sosial antarpribadi dan kemudia hubungan antar perseorangan dengan seluruh masyarakat. Namun ternyata dalam perjalanan waktu tindakan seperti itu tidak memadai dan perlu diperluas.   BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Dari pemaparan tentang masalah lingkungan dan moral, kita dapat mengetahui cakupan masalah lingkungan hidup dalam konteks kehidupan manusia dan interaksinya dengan lingkungan hidup sekitar, dan menganggap lingkungan hidup kita selain manusia juga sebagi agen moral yang derajatnya sama dengan kita, sehingga kita dapat menghargai mereka dengan lebih layak dan lebih baik karena adanya hubungan antara sikap etis dan tindakan moral manusia dengan masalah-masalah yang dialami dengan lingkungan hidup. dari itu kita tahu pentingnya perduli dengan lingkungan. 3.2 Saran Makalah ini disajikan untuk mengajak kita semua merenung dan merefleksikan sejenak keadaan serta status lingkungan hidup kita. Semoga tulisan ini dapat menjadi cambuk yang semakin menyadarkan kita atas kerusakan ingkungan hidup yang sudah, sedang dan akan terjadi.   Daftar Pustaka Universitas Negeri Semarang. 2010. Pendidikan Lingkungan Hidup. Semarang: Unnes Perss Ondyx. Masalah Lingkungan dalam kajian Etika dan Moral. Online http://ondyx.blogspot.com/2013/12/masalah-lingkungan-dalam-kajian-etika.html. diakses pada [29/10/2014]

Lebih Dekat dengan Lingkungan Hidup

PERAN MASYARAKAT DALAM MENGOLAH LIMBAH SEBAGAI WUJUD KONSERVASI Makalah disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup Dosen pengampuh : Dr. Nur Kusuma Dewi, M.si oleh Rosmayati (1301413061) Rombel 48 UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada beliau Nabi Muhammad SAW yang penulis tunggu syafa’atnya di zaman yaumul kiamat nanti. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup dengan tema ”PERAN MASYARAKAT DALAM MENGOLAH LIMBAH SEBAGAI WUJUD KONSERVASI”. Penulis menyadari tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak maka penulisan laporan ini tidak akan berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Nur kusuma Dewi, M.si, selaku dosen pengampu Mata Kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup yang dengan ikhlas telah membimbing penulis. 2. Orang tua penulis yang selalu melimpahkan doa dan dukungannya. 3. Teman-teman dan semua pihak yang telah mendukung penyelesaian makalah ini. Kritik dan saran selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalaah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Wassalaamu’alaikum Wr. Wb Semarang, September 2014 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan 2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengartian Limbah 3 2.2 Jenis Limbah 4 2.3 Pemanfaatan Limbah 6 2.4 Peran Aktif Masyarakat 9 BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan 10 3.2 Saran 10 DAFTAR PUSTAKA   BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah kita pelajari sebelumnya mengenai bab ‘Konservasi Sumber Daya Alam‘ yang mana didalamnya telah di papar.kan juga pengolahan konservasi sumber daya alam yang telah dilakukan di Indonesia salah satunya yaitu keterlibatan masyarakat dalam konservasi.Dan telah kita ketahui juga 7 pilar konservasi yaitu : 1. Arsitektur hijau dan transportasi internal 2. Biodiversitas 3. Energi bersih 4. Seni budaya 5. Kaderi sasi konservasi 6. Kebijakan nir kertas, dan 7. Pengolahan limbah Dalam upaya konservasi di Indonesia saat ini pengolahan suatu kawasan konsevasi melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya, meskipun pemerintah tetap sebagai pihak utama. Keterlibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan sumber daya alam hayati berarti memberi kesempatan untuk ikut berperan dalam usaha dikawasan tersebut (Unnes perss, 2010: 53). Maka dari itu penulis akan memaparkan “Peran Masyarakat dalam Pengolahan Limbah sebagai Wujud Konservasi”.   1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan makalah ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Apa yang dimaksud dengan limbah? 2. Bagaimana cara mengolah limbah? 3. Apa peran masyarakat terhadap pengolahan limbah? 1.3 Tujuan Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini yaitu : 1. Untuk mengetahui lebih jelas tentang limbah 2. Untuk mengetahui cara memanfaatkan limbah 3. Dan untuk mengetahui peranan masyarakat dalam mengolah limbah tersebut   BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Limbah Telah kita ketahui 7 pilar konservasi yaitu : 1. Arsitektur hijau dan transportasi internal 2. Biodiversitas 3. Energi bersih 4. Seni budaya 5. Kaderi sasi konservasi 6. Kebijakan nir kertas, dan 7. Pengolahan limbah Dalam upaya konservasi di Indonesia saat ini pengolahan suatu kawasan konsevasi melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya, meskipun pemerintah tetap sebagai pihak utama. Keterlibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan sumber daya alam hayati berarti memberi kesempatan untuk ikut berperan dalam usaha dikawasan tersebut (Unnes perss, 2010: 53). Dalam kehidupan manusia didalam sebuah masyarakat tidak lepas dari kebutuhan akan sesuatu hal untuk menunjang kehidupan. Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut banyak sekali produk-produk yang diciptakan untuk memenuhi hal tersebut. Dari produk-produk yang dihasilkan dapat benilai positif dan negative. Hal negative yang dapat dihasilkan adalah sisah dari produk-produk tersebut atau bisa disebut juga sebagai limbah. Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Limbah itu sendiri adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Untuk menguragi dampak negative dari limbah tersebut sekarang banyak sekali bemunculan idea atau gagasan yang dapat dilakukan dalam memanfaatkan limbah tersebut dengan tujuan untuk mengurangi dampak negative dari limbah. Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water). Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah. 2.2 Jenis Limbah Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). 2.2.1 Limbah Beracun (Limbah B3) Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia.Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3. 2.2.2 Limbah Organik Limbah organik adalah limbah yang dapat diuraikan secara sempurna oleh proses biologi baik aerob atau anaerob. Limbah organik mudah membusuk, seperti sisa makanan, sayuran, daun-daunan kering, potongan-potongan kayu, dan sebagainya. Limbah organik terdiri atas bahan-bahan yang besifat organik seperti dari kegiatan rumah tangga maupun kegiatan industri. Limbah ini juga bisa dengan mudah diuraikan melalui proses yang alami. Limbah ini mempunyai sifat kimia yang stabil sehingga zat tersebut akan mengendap kedalam tanah, dasar sungai, danau, serta laut dan selanjutnya akan mempengaruhi organisme yang hidup didalamnya. Limbah organik dapat mengalami pelapukan (dekomposisi) dan terurai menjadi bahan yang lebih kecil dan tidak berbau (sering disebut dengan kompos). Kompos merupakan hasil pelapukan bahan-bahan organik seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, sampah, rumput, dan bahan lain yang sejenis yang proses pelapukannya dipercepat oleh bantuan manusia. Limbah organic dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Limbah organic basah Limbah ini memiliki kandungan air yang cukup tinggi. Contohnya kulit buah dan sisa sayuran. 2. Limbah organic kering Limbah ini memiliki kandungan air yang relative sedikit. Contohnya kayu, ranting pohon, dedaunan kering, dan lain lain.   2.2.3 Limbah Anorganik Limbah anorganik adalah limbah yang tidak bisa diuraikan oleh proses biologi. Limbah ini tidak dapat diuraikan oleh organisme detrivor atau dapat diuraikan tetapi dalam jangka waktu yang lama. Limbah ini tidak dapat membusuk, oleh karena itu dapat dijadikan sampah komersil atau sampah yang laku dijual untuk dijadikan produk lainnya. Limbah anorganik yang dapat di daur ulang, antara lain adalah plastik, logam, dan kaca. Namun, limbah yang dapat didaur ulang tersebut harus diolah terlebih dahulu dengan cara sanitary landfill, pembakaran (incineration), atau penghancuran (pulverisation). Akibat dari limbah seperti ini (plastik,styrofoam, dll) adalah menumpuk semakin banyak dan menjadi polutan pada tanah misalnya, selain menggangu pemandangan. 2.3 Pemanfaatan Limbah Limbah organic maupun limbah anorganik dapat kita daur ulang. Daur ulang merupakan upaya untuk mengolah barang atau benda yang sudah tidak dipakai agar dapat dipakai kembali. 2.3.1 Limbah Organik Limbah organik dapat dimanfaatkan baik secara langsung (contohnya untuk makanan ternak) maupun secara tidak langsung melalui proses daur ulang (contohnya pengomposan dan biogas). Contoh limbah organic yang dapat kita daur ulang yaitu sisa-sisa dedaunan dan kayu serut. Sisa-sisa dedaunan dapat kita proses menjadi pupuk kompos yang sangat bagus. Tetapi, untuk hasil yang maksimal diperlukan usaha yang maksimal pula. Jika kita dapat memprosesnya dengan baik, maka sisa dedaunan itu dapat kita gunakan sebagai pupuk organic yang ramah lingkungan dan kualitas bagus.   2.3.2 Limbah Anorganik Limbah anorganik dapat kita proses menjadi sebuah benda yang memiliki nilai seni atau nilai guna. Beberapa limbah anorganik yang dapat dimanfaatkan melalui proses daur ulang, misalnya plastik, gelas, logam, dan kertas. 1. Limbah plastik Limbah plastik biasanya digunakan sebagai pembungkus barang. Plastik juga digunakan sebagai perabotan rumah tangga seperti ember, piring, gelas, dan lain sebagainya. Keunggulan barang-barang yang terbuat dari plastik yaitu tidak berkarat dan tahan lama. Banyaknya pemanfaatan plastik berdampak pada banyaknya sampah plastik. Padahal untuk hancur secara alami jika dikubur dalam tanah memerlukan waktu yang sangat lama. Cobalah kalian kubur sampah plastik selama beberapa bulan, kemudian gali lagi penutup tanahnya dapat dipastikan bahwa plastik tersebut akan tetap utuh. Karena itu, upaya yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan limbah plastik untuk didaur ulang menjadi barang yang sama fungsinya dengan fungsi semula maupun digunakan untuk fungsi yang berbeda. Misalnya ember plastik bekas dapat didaur ulang dan hasil daur ulangnya setelah dihancurkan dapat berupa ember kembali atau dibuat produk lain seperti sendok plastik, tempat sampah, atau pot bunga. Plastik dari bekas makanan ringan atau sabun deterjen dapat didaur ulang menjdai kerajinan misalnya kantong, dompet, tas laptop, tas belanja, sandal, atau payung. Botol bekas minuman bisa dimanfaatkan untuk membuat mainan anak-anak. Sedotan minuman dapat dibuat bunga-bungaan, bingkai foto, taplak meja, hiasan dinding atau hiasan-hiasan lainnya. 2. Limbah logam Sampah atau limbah dari bahan logam seperti besi, kaleng, alumunium, timah, dan lain sebagainya dapat dengan mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita. Sampah dari bahan kaleng biasanya yang paling banyak kita temukan dan yang paling mudah kita manfaatkan menjadi barang lain yang bermanfaat. Sampah dari bahan kaleng dapat dijadikan berbagai jenis barang kerajinan yang bermanfaat. Berbagai produk yang dapat dihasilkan dari limbah kaleng di antaranya tempat sampah, vas bunga, gantungan kunci, celengan, gift box, dan lain-lain. 3. Limbah Gelas atau Kaca Limbah gelas atau kaca yang sudah pecah dapat didaur ulang menjadi barang-barang sama seperti barang semula atau menjadi barang lainseperti botol yang baru, vas bunga, cindera mata, atau hiasan-hiasan lainnya yang mempunyai nilai artistik dan ekonomis. 4. Limbah kertas Sampah kertas kelihatannya memang mudah hancur dan tidak berbahaya seperti sampah plastik. Namun walau bagaimanapun yang namanya sampah pasti menimbulkan masalah jika berserakan begitu saja. Sampah dari kertas dapat didaur ulang baik secara langsung ataupun tak langsung. Secara langsung artinya kertas tersebut langsung dibuat kerajinan atau barang yang berguna lainnya. Sedangkan secara tak langsung artinya kertas tersebut dapat dilebur terlebih dahulu menjadi kertas bubur, kemudian dibuat berbagai kerajinan. Hasil daur ulang kertas banyak sekali ragamnya seperti kotak hiasan, sampul buku, bingkai photo, tempat pensil, dan lain sebagainya. 2.4 Peran Aktif Masyarakat Masalah Limbah di berbagai kota besar di Indonesia sebetulnya dapat dipecahkan dengan baik sebagaimana yang berhasil dilakukan di negara maju apabila peran aktif masyarakat meningkat. Pada umumnya proses pengelolaan limbah dengan basis partisipasi aktif masyarakat terdiri dari beberapa tahapan proses, antara lain : a. Mengupayakan agar limbah dikelola, dipilah dan diproses tahap awal mulai dari tempat timbulan limbah itu sendiri (dalam hal ini mayoritas adalah lingkungan rumah tangga). Upaya ini setidaknya dapat mengurangi timbulan limbah yang harus dikumpulkan dan diangkut ke TPS sehingga bebannya menjadi berkurang. b. Pada fase awal di tingkat rumah tangga setidaknya diupayakan untuk mengolah limbah organik menjadi kompos dan limbah anorganik dipilah serta mengumpulkan menurut jenisnya sehingga memungkinkan untuk di daur ulang. Limbah organik sebenarnya telah dapat diproses menjadi kompos di setiap rumah tangga pada tong-tong sampah khusus kompos (Komposter BioPhoskko) yang mampu memproses limbah menjadi kompos untuk periode tampung antara 5 hingga 7 hari dengan bantuan aktivator GreenPhoskko “A” (mikroba pengurai) dan Bulking Agent (penggembur). Bila proses pengomposan di tiap rumah tangga belum mungkin dilakukan, selanjutnya petugas sampah mengangkut limbah/sampah yang telah terpilah ke tempat pembuangan sampah sementara untuk diproses. Hasil pengamatan di beberapa tempat pembuangan sampah atau TPS di beberapa bagian kota diketahui bahwa masing-masing limbah anorganik sangat memiliki nilai ekonomi. c. Pewadahan dan pengumpulan dari wadah tempat timbulan sampah sisa yang sudah dipilah ke tempat pemindahan sementara. Pada tahapan ini beban kerja petugas pembuangan sampah/limbah menjadi ringan. d. Pengangkutan ke tempat pembuangan atau ke tempat pengolahan sampah terpadu. Pada tahapan ini diperlukan kotak penampungan sampah/limbah dan gerobak pengangkut limbah/sampah yang sudah dipilah. e. Tahapan selanjutnya adalah pengolahan limbah yang tidak memungkinkan untuk diolah di setiap lingkungan rumah tangga di TPS. Tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang ada dengan menggunakan pendekatan ini kemudian diubah fungsinya menjadi semacam pabrik pengolahan sampah terpadu, yang produk hasil olahnya adalah kompos, bahan daur ulang dan limbah yang tidak dapat diolah lagi. f. Tahapan akhir adalah pengangkutan sisa akhir sampah, limbah yang tidak dapat didaur ulang atau tidak dapat dimanfaatkan lagi ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Pada fase ini barulah proses penimbunan atau pembakaran sampah akhir dapat dilakukan dengan menggunakan incinerator, sekitar 5-10 % sampah yang tidak dapat di daur ulang.   BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Dengan peran aktif masyarakat dalam menangani limbah dapat sangat membantu dalam mengurangi limbah atau sampah yang ada, dan dapat memberikan bnayak dampak positif dari peran aktif masyarakat tersebut. Diataranya, menambah penghasilan dari pemrosesan limbah yang telah dilakukan, menciptakan lapangan kerja baru dalam penanganan atau pengolahan limbah terutama limbah anorganik yang dapat dijadikan karya seni atau barang yang dapat dijual kembali dan mungkin dapat dimanfaatkan kembali. 3.2 Saran Dalam menggunakan produk-produk usahakanlah yang bahannya dapat didaur ulang dengan mudah agar tidak menimbulkan limbah yang menumpuk dan menyebabkan banyak masalah yang terjadi. Untuk menciptakan lingkungan yang bersih, dapat dihujudkan dengan peranan aktfik masyarakat dalam memilih dan memanfaatkan limbah, dan sediakanlah tempat untuk membedakan jenis limbah dan pisahkanlah limbah kedalam jenisnya contohnya limbah dari tumbuhan seperti daun atau kulit buah dapat dibunang di tempat limbah atau sampah organik dan limbah seperti plastik dapat dibuang ditempat limbah atau sampah anorganik.   Daftar Pustaka Universitas Negeri Semarang. 2010. Pendidikan Lingkungan Hidup. Semarang: Unnes Perss Latifah, Nurul. 2011. Limbag Organik, Anorganik dan B3. Online http://nurullathifah.wordpress.com/2011/07/07/limbah-organik-anorganik-dan-b3/. Diakses pada [29/10/2014] Kompas. 2010. Penanganan Sampah dengan Peran Aktif Masyarakat. Online http://green.kompasiana.com/limbah/2010/06/07/penanganan-sampah-dengan-peran-aktif-masyarakat-160340.html. Diakses pada [29/10/2014]

Proposal Kuantitatif

PROPOSAL PERBEDAAN TINGKAT EMPATI ANTAR ANGKATAN PADA MAHASISWA JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING S1 UNNES Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester 3 Mata Kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Dosen Pengampu : Dra. Maria Theresia Sri Hartati, M.Pd Oleh Rosmayati 1301413061 / Rombel 3 JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Istilah “empati” menurut Jumarin (panuntun, 2012) berasal dari perkataan Yunani yaitu “phatos” yang artinya perasaan mendalam atau kuat. Selain itu, istilah “empati juga berasal dari “einfuhlung” yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, yang diartikan secara harfiah yaitu memasuki perasaan orang lain (feeling into). Hurlock (1999: 118) mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya, maka semakin terampil juga seseorang membaca perasaan orang lain. Jadi, empati membutuhkan pembedaan antara emosi dan keinginan pribadi dengan emosi dan keinginan orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam menginterprestsikan informasi yang diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka. Adapun empati tersebut adalah faktor terpenting dalam pekerjaan sosial dan konseling. Tujuan empati sendiri sangat membantu konselor dalam mendapatkan informasi dan menghargai klien. Jadi, dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu kemampuan sikap seseorang baik dari kesadaran diri dalam memahami orang lain ataupun suatu kelompok, baik yang berbentuk respon kognitif maupun afektif dengan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam makalahnya yang berjudul “ The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change ”(Kondisi Yang Harus Terjadi Dan Cukup Bagi Perubahan Pada Klien), Rogers mengemukakan tentang emphatic understanding, yakni kemampuan untuk memasuki dunia pribadi orang. Emphatic understanding merupakan salah satu dari tiga atribut yang harus dimiliki oleh seorang terapis dalam usaha mengubah perilaku klien. Atribut yang lain yaitu kewajaran atau keadaan sebenarnya (realness) dan menerima (acceptance) atau memperhatikan (care). Sebagai mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling yeng belajar tentang konseling dan belajar faktor terpenting dalam konseling yaitu empati. Setidaknya semakin kita belajar maka akan semakin kita tahu dan mengerti apa yang kita pelajari. Begitupula dengan belajar empati, semakin kita belajar berkonseling yang pastinya belajar empati juga semakin tinggi juga rasa empati kita terhadap klien atau seseorang. Dari sini peneliti akan memaparkan penelitiannya tentang “Perbedaan Tingkat Empati antar Angkatan Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling S1 Unnes”.   2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan ”adakah perbedaan empati antar angkatan pada mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling S1 Unnes?” 3. Tujuan Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini yaitu mengetahui ada atau tidaknya perbedaan empati antar mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling S1 Unnes. 4. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberi jawaban mengenai adanya perbedaan tingkat empati antar angkatan mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling S1 Unnes, sehingga mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis sebagai sarana untuk mengaplikasikan teori-teori mengenai empati. 2. Manfaat Praktis sebagai tambahan informasi mahasiswa untuk mengetahui perbedaan tingkat empati mahasiswa.   BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Empati Istilah “empati” menurut Jumarin (Panuntun, 2012), berasal dari perkataan yunani yaitu “phatos” yang artinya perasaan mendalam atau kuat. Selain itu, istilah “empati” juga berasal dari kata “einfuhlung” yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, yang secara harfiah yaitu memasuki perasaan orang lain (feeling into). Hurlock (1999: 118) mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Kemampuan untuk empati ini mulai dapat dimiliki seseorang ketika menduduki masa akhir kanak-kanak awal (6 tahun) dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua individu memiliki dasar kemampuan untuk dapat berempati, hanya saja berbeda tingkat kedalaman dan cara mengaktualisasikannya. Empati seharusnya sudah dimiliki oleh remaja, karena kemampuan berempati sudah mulai muncul pada masa kanak-kanak awal. Lebih lanjut dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2005) yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik, dan mencoba menyelesaikan masalah serta mengambil perspektif orang lain. Menurut Goleman (Wahyuningsih, 2004) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya, maka semakin terampil juga seseorang membaca perasaan orang lain. Jadi, empati membutuhkan pembedaan antara emosi dan keinginan pribadi dengan emosi dan keinginan orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam menginterprestsikan informasi yang diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka. Jadi, dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu kemampuan sikap seseorang dari kesadaran diri dalam memahami orang lain ataupun suatu kelompok, baik yang berbentuk respon kognitif maupun afektif dengan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. B. Perkembangan Empati Hoffman (Taufik, 2012) empati memiliki basis genetic atau empati diturunkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Namun Hoffman tidak mempercayai bahwa empati muncul pada masa anak-anak atau setelah anak melampaui beberapa tugas perkembangannya, tahapan perkembangan itu memang ada namun tidak menjadi syarat mutlak bagi seseorang untuk bersikap empati. Menurutnya, empati individu sudah mulai terbentuk saat ia masih bayi, yaitu tangisan saat dilahirkan. Hoffman memberikan contoh saat bayi perempuan berusia 11 bulan melihat bayi lainnya jatuh dan mulai menangis, kemudian bayi perempuan tersebut seakan-akan ikut menangis. Fenomena ini menurut Hoffman merupakan salah satu indikator empati dan merupakan bentuk dari self cetered emotional responses karena tidak bisa menimbulkan keinginan pada diri anak untuk menolong dan memaahami kesedihan orang lain dengan hanya bisa diekspresikan untuk dirinya sendiri (empati pasif). Dewasa ini, empati sering dijadikan faktor penting dalam pekerjaan sosial dan konseling. Penelitian di bidang ini menunjukkan bahwa empati adalah alat penting untuk intervensi terapeutik yang positif dan perlakuan dalam pekerjaan sosial. Studi menunjukkan bahwa klien yang mengalami empati melalui pengobatan menghambat perilaku anti-sosial dan agresi. Dalam hal ini, kurangnya empati berkorelasi dengan bullying, perilaku agresif, kejahatan kekerasan dan menyinggung pada penyimpangan seksual (Questia 2009). Menurut Ioannidou dan Konstantikaki (2008) empati juga tepat digunakan sebagai alat komunikasi dan memfasilitasi wawancara klinis konseling, meningkatkan efisiensi pengumpulan informasi, dan dalam menghormati klien. Emotional Intelligence (EQ), sering digunakan untuk menggambarkan sebuah konsep yang melibatkan kapasitas, keterampilan dalam mengelola emosi baik dalam diri maupun orang lain, serta kemampuan dalam ikut merasakan perasaan orang lain, sehingga disini berkaitan erat dengan sikap empati. Walaupun isu ini masih menjadi perdebatan dan dapat terus berubah. Mercer dan Reynolds (2002) mengemukakan pentingnya empati dalam hubungan terapeutik berkaitan dengan tujuan dari hubungan tersebut. Terlepas dari konteks hubungan terapeutik, tampaknya ada sebuah tujuan dari empati, meliputik: a. mendukung komunikasi interpersonal dalam rangka memahami persepsi dan kebutuhan konseli. b. memberdayakan konseli untuk belajar, atau mengatasi masalahnya lebih efektifdengan lingkungannya. c. penyelesaian masalah konseli. Mercer dan Reynolds (2002) mengemukakan empati dapat menciptakan iklim antarpribadi yang bebas dari defensif dan memungkinkan individu untuk berbicara tentang persepsi mereka terhadap kebutuhannya. C. Karakteristik Empati Goleman (1997) menyatakan terdapat 3 (tiga) karakteristik kemampuan seseorang dalam berempati, yaitu: 1. Mampu Menerima Sudut Pandang Orang Lain Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat. 2. Memiliki Kepekaan Terhadap Perasaan Orang Lain Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain. 3. Mampu Mendengarkan Orang Lain Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi. Adapun menurut Departemen Agama Republik Indonesia (Irani, 2007) karakteristik seseorang yangberempati tinggi, yaitu: 1. Ikut merasakan (sharing feeling) kemampuan untuk mengetahuibagaimana perasaan orang lain. Hal ini berarti individu mampu merasakansuatu emosi, mampu mengidentifikasi perasaan orang lain. 2. Dibangun berdasarkan kesadaran sendiri, semakin kita mengetahui emosidiri sendiri semakin terampil kita meraba perasaan orang lain. Hal ini berartimampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang laindengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan meningkatkankemampuan kognitif, khususnya kemampuan menehrima perspektif oranglain dan mengambil alih peran, seseorang akan memperoleh pemahamanterhadap perasaan orang lain dan emosi orang lain yang lebih lengkap danaktual, sehingga mereka lebih menaruh belas kasihan yang akan lebih banyak membantu orang lain dengan cara yang tepat. 3. Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih sering diungkapkanmelalui bahasa isyarat. Hal ini berarti individu mampu membaca perasaanorang lain dalam bahasa non verbal seperti ekspresi wajah, gerak-gerakdan bahasa tubuh lainnya. 4. Mengambil peran (role taking) empati melahirkan perilaku konkrit, jika individu menyadari apa yang dirasakan setiap saat, maka empati akandatang dengan sendirinya dan lebih lanjut individu akan bereaksi terhadapsyarat-syarat orang lain dengan sensasi fisiknya sendiri tidak hanyadengan pengakuan kognitif terhadap perasaan mereka. D. Esensi dari Empati Pada dasarnya setiap anak sudah memiliki kepekaan (empati) dalam dirinya, tergantung bagaimana cara anak dan juga orangtuanya mengasah kemampuan anak tersebut. Oleh karena itu, orangtua ataupun guru sangat disarankan untuk menanamkan sifat empati kepada anak sejak dini. Eisenberg (2002) menyatakan bahwa tiadanya attunement (penyesuaian diri) dalam jangka panjang antara orangtua dengan anak akan menimbulkan kerugian emosional yang sangat besar bagi anak tersebut. Apabila orangtua terus menerus gagal memperlihatkan empati apa pun dalam bentuk emosi tertentu (kebahagiaan, kesedihan, kebutuhan membelai) pada anak, maka anak akan mulai menghindar untuk mengungkapkannya. Eisenberg (2002) juga menyatakan empati penting bagi individu, karena dengan empati seseorang dapat: 1. Menyesuaikan Diri Empati mempermudah proses adaptasi, karena ada kesadaran dalam diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Orang yang memiliki rasa empati yang baik, maka penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam sifat optimis dan fleksibel. 2. Mempercepat Hubungan dengan Orang Lain Jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka setiap individu akan mudah untuk merasa diterima dan dipahami oleh orang lain. 3. Meningkatkan Harga Diri Empati dapat meningkatkan harga diri seseorang.Dimulai dari peran empati dalam hubungan sosial, yang merupakan media berkreasai dan menyatakan identitas diri. 4. Meningkatkan Pemahaman Diri Kemampuan memahami perasan orang lain dan menunjukkan perasaan tersebut tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan orang lain, menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan perilakunya. Hal itu menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Melalui proses tersebut akan terbentuk pemahaman diri yang terjadi dengan perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. E. Faktor yang Mempengaruhi Empati Eisenberg (2002) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang, yaitu: 1. Kebutuhan Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang rendah akan mempunyai tingkat empati yang tinggi. 2. Jenis Kelamin Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi daripada laki-laki.Persepsi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki. Untuk respon empati, mendapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empati dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain. Empati adalah merupakan ciri khas dari wanita yang lebih peka terhadap emosi orang lain dan bisa lebih mengungkapkan emosinya dibandingkan laki-laki (Koestner, 1990). Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya usia. Selanjutnya Koestner (1990) menyatakan bahwa semakin tua usia seseorang semakin baik kemampuan empatinya. Hal ini dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif. 3. Derajat Kematangan Psikis Empati juga dipengaruhi oleh derajat kematangan. Yang dimaksud dengan derajat kematangan dalam hal ini adalah besarnya kemampuan seseorang dalam memandang, menempatkan diri pada perasaan orang lain serta melihat kenyataan dengan empati secara proporsional. Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula. 4. Sosialisasi Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan sosial yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial. Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami empati artinya mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain. Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap empati pada anak, kepekaan sosial juga berpengaruh pada perkembangan empati anak terhadap lingkungan. Selain itu, ada pula faktor lain yang mempengaruhi empati, yaitu: 1. Pola Asuh Menurut Hoffman dalam Taufik (2012), empati memiliki basis genetic atau empati diturunkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Gordon (2003) mengatakan bahwa orang tua yang memiliki sifat agresi, kasar, dan lalai dalam mengasuh anak merupakan bukti dari rendahnya tingkat empati. Oleh karena itu, Franz (Ginting, 2009), menemukan adanya hubungan yang kuat antara pola asuh pada masa-masa awal dengan emphatic concern anak yang mempunyai ayah yang terlibat baik dalam pengasuhan dan ibu yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak (tolerance of dependency) akan mempunyai empati yang lebih tinggi. 2. Variasi Situasi, Pengalaman, dan Objek Respon Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat dipengaruhi oleh situasi, pengalaman, dan respon empati yang diberikan (Ginting, 2009) F. Aspek-aspek Kemampuan Empati Menurut Eisenberg (2002) dalam Panuntun (2012) bahwa dalam proses individu berempati melibatkan aspek afektif dan kognitif. Aspek afekif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita bahkan disakiti,sedangkan aspek kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan tepat dan menerima pandangan mereka, misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari; cara berbicara, dari raut wajah, cara pandang dalam berpendapat. G. Kerangka Berpikir Pembahasan diatas tentang empati yang dalam artian menurut Baron dan Byrne (2005) yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik, dan mencoba menyelesaikan masalah serta mengambil perspektif orang lain. Dan masih banyak menurut beberapa ahli lainnya. Namun, dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu kemampuan sikap seseorang dari kesadaran diri dalam memahami orang lain ataupun suatu kelompok, baik yang berbentuk respon kognitif maupun afektif dengan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Adapun empati tersebut adalah faktor terpenting dalam pekerjaan sosial dan konseling. Tujuan empati sendiri sangat membantu konselor dalam mendapatkan informasi dan menghargai klien. Sebagai mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling yeng belajar tentang konseling dan belajar faktor terpenting dalam konseling yaitu empati. Setidaknya semakin kita belajar maka akan semakin kita tahu dan mengerti apa yang kita pelajari. Begitupula dengan belajar empati, semakin kita belajar berkonseling yang pastinya belajar empati juga semakin tinggi juga rasa empati kita terhadap klien atau seseorang. Jadi dapat dikatakan jika mahasiswa yang sudah semester atas (diatas kita) memiliki rasa empati yang lebih tinggi daripada kita (dibawah mereka). H. Hipotesis Begitu pentingnya empati ditanamkan pada diri setiap individu, khusus juga pada diri seorang konselor. Menurut Ioannidou dan Konstantikaki (2008) empati juga tepat digunakan sebagai alat komunikasi dan memfasilitasi wawancara klinis konseling, meningkatkan efisiensi pengumpulan informasi, dan dalam menghormati klien.tidak dapat di pungkiri individu merupakan makhluk yang unik, dalam artian individu pun unik dalam memiliki rasa empati, apalagi besarnya rasa empati dalam setiap individu terutama mahasiswa Bimbingan dan Konseling S1 Unnes. Jadi, dapat di katakana terdapat perbedaan tingkat empati antar mahasiswa Bimbingan dan Konseling S1 Unnes. I. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian One-group Pretest-Posttest Design adalah rancangan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Eksperimen dilakukan pada satu kelompok tanpa menggunakan kelompok kontrol dengan memberikan pretes sebelum perlakuan bertujuan agar hasil perlakuan dapat diketahui secara akurat setelah diberikan postes dengan cara membandingkan keadaan sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Penelitian ini menggunakan angket langsung bentuk tertutup, responden menjawab sendiri butir pertanyaan yang sudah tersedia jawabannya. Data dikumpulkan melalui angket yang telah dikembangkan sendiri. Proses pengumpulan data, memerlukan alat atau instrumen pengumpul data yang benar-benar dapat mengumpulkan data dengan baik. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah b. Variabel Penelitian 1. Identifikasi Variabel Peneliti menggunakan variabel intervening. Variable intervening adalah variable yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variable independen dengan dependen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur. Variable ini merupakan variable penyela yang terletak diantara variable independen dan dependen, sehingga variable independen tidak langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variable dependen (Sugiyono, 2014:63) 2. Definisi Variabel Dalam penelitian ini, yang menjadi kriteria penilaian atau pengukuran secara statistik (batasan dalam membuat indicator) adalah ‘Karakteristik Empati’. disini peneliti menggunakan karakteristik empati menurut 2 ahli yang nantinya dalam membuat indicator keduanya akan digabungkan, kaakteristik empati menurut 2 ahli tersebut, antara lain : a. Goleman (1997) menyatakan terdapat 3 (tiga) karakteristik kemampuan seseorang dalam berempati, yaitu: 1. Mampu Menerima Sudut Pandang Orang Lain Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat. 2. Memiliki Kepekaan Terhadap Perasaan Orang Lain Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain. 3. Mampu Mendengarkan Orang Lain Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi. b. Adapun menurut Departemen Agama Republik Indonesia (Irani, 2007) karakteristik seseorang yangberempati tinggi, yaitu: 1. Ikut merasakan (sharing feeling) kemampuan untuk mengetahuibagaimana perasaan orang lain. Hal ini berarti individu mampu merasakansuatu emosi, mampu mengidentifikasi perasaan orang lain. 2. Dibangun berdasarkan kesadaran sendiri, semakin kita mengetahui emosidiri sendiri semakin terampil kita meraba perasaan orang lain. Hal ini berartimampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang laindengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan meningkatkankemampuan kognitif, khususnya kemampuan menehrima perspektif oranglain dan mengambil alih peran, seseorang akan memperoleh pemahamanterhadap perasaan orang lain dan emosi orang lain yang lebih lengkap danaktual, sehingga mereka lebih menaruh belas kasihan yang akan lebih banyak membantu orang lain dengan cara yang tepat. 3. Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih sering diungkapkanmelalui bahasa isyarat. Hal ini berarti individu mampu membaca perasaanorang lain dalam bahasa non verbal seperti ekspresi wajah, gerak-gerakdan bahasa tubuh lainnya. 4. Mengambil peran (role taking) empati melahirkan perilaku konkrit, jika individu menyadari apa yang dirasakan setiap saat, maka empati akandatang dengan sendirinya dan lebih lanjut individu akan bereaksi terhadapsyarat-syarat orang lain dengan sensasi fisiknya sendiri tidak hanyadengan pengakuan kognitif terhadap perasaan mereka. c. Populasi dan Sampel Penelitian Dalam Sugiyono (2013:117), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi, populasi bukan hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek atau subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek yang diteliti itu. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan mahasiswa yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian. Adapun populasi penelitian ini adalah mahasiswa Bimbingan dan Konseling antar angakatan S1 Unnes. Dalam Sugiyono (2013:118), sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel adalah kelompok kecil yang secara nyata diteliti dan ditarik kesimpulan (Nana Syaodih Sukmadinata, 2009). Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sampel yang dimaksud dalam penenlitian ini adalah sebagian dari jumlah keseluruhan mahasiswa tiap angkatan yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian. d. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Teknik Angket atau Kuesioner Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Penelitian ini menggunakan angket langsung bentuk tertutup, responden menjawab sendiri butir pertanyaan yang sudah tersedia jawabannya. Dalam proposal ini, peneliti menggunakan metode angket (kuesioner) untuk mengetahui bagaimana tingkat empati mahasiswa dengan klien atau individu sebelum dan sesudah diberikan layanan penguasaan konten tentang empati. 1. Validitas dan Reliabilitas Data Validitas data adalah mengukur apa yang seharusnya diukur, dalam penelitian ini yang diukur adalah seberapa tinggi sikap empati mahasiswa Bimbingan dan Konseling. Sedangkan realibilitas data adalah taraf keajegan dari hasil penelitian dimana dari hasil penelitian ini dapat dipakai jika kondisi dari sampel dapat mewakili seluruh populasi. 2. Teknik Analisis Data Dalam pemilihan tehnik analisis data, yang perlu dicermati oleh Dosen Pembimbing adalah asumsi-asumsi dari pemilihan tehnik tersebut, karena setiap tehnik analisis data mempunyai asumsi yang berbeda-beda. Hal-hal yang mempengaruhi jenis tehnik analisis data di antaranya adalah sebagai berikut : Jenis data, hubungan variabel, jumlah variabelnya, jumlah subyek penelitian (N/n), hubugan sampelnya, skala pengukuran, dan lain-lain.   DAFTAR PUSTAKA Baron, R. A. dan Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial. Jilid 2. Alih Bahasa: Ratna Djuwita. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga. Batson, C. D, dkk 1991. Empathy Joy and the Empathy Altruism Hypotesis. Jurnal of Personality and Social Psychology University of Kansas. Vol 61, No 3. Hoffman, M. L. 1978. Empathy: The Formative Years, Implications for Children Practice. Journal New Direction in Psychotherapy. Hurlock, Elizabeth. 1999. Perkembangan Anak. Jilid 2. Alih Bahasa: Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Setiawan, A. 2012. Empati. [online]:http//andiystiawan.blogspot.com/2012/11/empati.html diakses pada [13/10/2014] Sugiyono. 2014. Metode penelitian Pendidikan. Bandung: Alvabeta Sutardi, T. 2007. Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT. Setia Purna Inves. Sutoyo, Anwar. 2012. Pemahaman Individu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Taufik. 2012. Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada